Sudah 50 Tahun Bersama Indonesia
Sekedar mengingatkan kembali bahwa tanggal 19 Desember 1961 silam dan tangga 19 Desember tahun 2011, tepat 50 tahun rakyat Rakyat Bangsa Papua memperingati suatu peristiwa sejarah penentu episode tragis yang menimpa nasib rakyat Bangsa Papua hingga hari ini. Dimana saat itu dalam suatu pidato terbuka di alun-alun Kota Jogja, Soekarno Presiden pertama Indonesia telah mengumumkan apa yang dinamakan Tri Komando Rakyat(TRIKORA) dengan salah satu tuntutannya “membubarkan negara boneka Papua bentukan Belanda.”
Pengumuman itu lalu diikuti penunjukan Mayjend Soeharto sebagai panglima Operasi Mandala untuk merebut Papua dari kekuasaan Belanda. Peristiwa ini terjadi 18 hari setelah Perlemen Papoea Barat bernama Nieuw Guinea Raad (NGR) pada 1 Desember 1961 telah mengesahkan perangkat kenegaraan seperti, lambang negara, bendera dan lagu kebangsaan, mata uang, wilayah, penduduk dan lain-lain bagi negara baru Papoea Barat (West Papua).
Meski secara defacto pembentukan negara Papua ini sah (legal), namun dianggap menjadi penghalang ambisi politik Presiden Soekarno untuk menjadikan negara Melayu bernama Indonesia kelak bisa menjadi negara besar (super power) yang memiliki wilayah yang luas seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet kala itu. TRIKORA akhirnya menjadi langkah dimulainya proses pencaplokan dan perampokan wilayah Papua yang pada masa kekuasaan Belanda dinamakan Netherland Nieuw Guinea.
Ambisi Soekarno lewat TRIKORA kemudian dilegitimasi dengan berbagai dasar klaim sejarah yang tidak masuk akal (keliru) bahwa seolah-olah wilayah Papua tidak terlepas dari negara Indonesia sejak jaman kekuasaan Sriwijaya, Majapahit hingga masa penjajahan Belanda atas wilayah Nusantara. Padahal ambisi politik Soekarno untuk menduduki dan membubarkan ‘Negara Papoea’ jelas-jelas sangat sepihak serta melanggar ketentuan internasional yang menyatakan bahwa setiap penduduk pribumi di dunia memiliki hak penentuan nasib sendiri, termasuk hak memiliki negara merdeka (berdaulat).
Orang Papua sepertinya dianggap sebagai manusia primitif, terbelakang, dan manusia jaman batu sehingga tidak layak memiliki negara sendiri. Wilayah Papua yang kaya raya diselimuti hutan belantara yang luas, tanah yang subur terkandung emas, tembaga, uranium, minyak, gas bumi dan lain sebagainya, termasuk lautnya yang menyimpan misteri kekayaan yang melimpah telah menjadi incaran bangsa-bangsa yang rakus, termasuk Indonesia. Papua masih dianggap negeri luas yang tidak berpenghuni sehingga layak menjadi rebutan bangsa-bangsa lain seperti pengalaman Bangsa Indian di Benua Amerika dan Aborigin di Australia.
Upaya merebut wilayah Papua kemudian ditempuh dengan berbagai cara dibawah kekuasaan presiden Indonesia Soekarno. Selanjutnya atas kolaborasi kepentingan Indonesia dengan kepentingan ekonomi, kendali geo politik dunia dan imperialisme dibawah kuasa negara-negara imperialis barat seperti AS, Inggris, Australia, dll, telah berdampak pemberangusan hak-hak politik rakyat bangsa Papua untuk memiliki negara dan pemerintahan sendiri(self government). TRIKORA 1961 telah menjadi pembuka jalan infiltrasi dan invasi militer besar-besar yang dimulai dengan Operasi Mandala 1962.
Perjanjian New York yang mensyaratkan pemilihan bebas-demokratis berdasarkan prinsip “one man, one vote” bagi rakyat pribumi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri lewat Pepera 1969 (Referendum pura-pura), telah dilanggar Indonesia dengan mendapat restu Amerika Serikat. Hasil rekayasa Pepera 1969 yang kemudian menjadi dasar dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 2504, praktis menjadi “surat ijin” untuk membantai, menangkap, memenjarakan, menyiksa, dan membungkam suara-suara demokrasi rakyat Papua.
Hal itu dilakukan lewat berbagai operasi militer ikutan di awal 1970-an hingga sekarang. Nasionalisme Indonesia kian dipaksakan untuk mengganti Nasinalisme kePapuaaan dengan moncong senjata (tindakan represif), manipulasi sejarah aneksasi hingga lewat pendekatan sosial politik. Meski telah menjadi bagian dari Negara Indonesia, rakyat Papua hampir tidak punya ruang untuk memperjuangkan hak-haknya. Keinginan itu masihterkubur oleh berbagai tindakan represif aparat keamanan Indonesia (TNI/Polri) dan kebijakan pembangunan yang cenderung menindas, memarginalkan dan bias politik rasialisme maupun kolonialisme.
Bila rakyat bangsa Papua hendak memperjuangkan hak-haknya dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya (identitas kePapua-an), termasuk jika menentang eksploitasi massif atas SDA Papua oleh Pemerintah Indonesia berserta antek-antek kapitalis, dengan mudah Pemerintah RI mengaitkannya sebagai separatisme dan makar. Akibatnya, rakyat Papua terus berhadapan dengan moncong senjata, peluru, sangkur, bayonet, sepatu lars, hingga dipenjarakan atas dasar hukum Indonesia.
Pelapor khusus PBB untuk bidang anti penyiksaan, Dr. Manfred Noak pada 2006 lalu pernah melaporkan bahwa kurang lebih 800.000 orang Papua telah menjadi korban pembantaian militer Indonesia sejak 1963. Namun jumlah itu belum termasuk korban yang mayatnya tidak diketahui atau yang dibunuh secara misterius oleh militer Indonesia. Situasi ini kian menambah trauma berkepanjangan dan rasa frustasi yang mendalam hingga hari ini.Meskipun status Otonomi Khusus telah diberikan Pemerintah Indonesia bagi wilayah Papua sebagai sikap reaksioner atas tuntutan politik, kegagalan pembangunan dan penderitaan Rakyat Bangsa Papua, namun kebijakan ini dalam implementasinya selama 10 tahun TELAH GAGAL.
Tidak diragukan lagi, Otonomi Khusus dan berbagai kebijakan pembangunan versi Pemerintah Indonesia telah menjadi jalan masuk peminggiran (marginalisasi) dan pemusnahan etnis (genocide) secara sistematis bagi Rakyat Bangsa Papua di tanah airnya sendiri. Selama 50 tahun aneksasi wilayah Papua, keadilan tetap tidak berpihak pada rakyat Papua. Kekerasan negara yang membuahkan pelanggaran HAM masih terus terjadi; exploitasi sumber daya alam Papua dijalankan dengan sangat rakus; marginalisasi dilahirkan; kemiskinan meningkat; angka buta huruf tetap tinggi; banyak rakyat dibiarkan terbunuh oleh penyakit menular; bibit korupsi ditanam; budaya tidak produktif (konsumtif) dan ketergantungan ditanam; unsur kebudayaan humanistis (menghargai kehidupan) diganti dengan budaya kerakusan, budaya menunduk dan “menjilat ke atas tapi menginjak ke bawah.
Bercermin dari sejumlah fakta tragis yang diurai secara singkat di atas, maka “REFERENDUM” adalah salah satu sarana untuk menyelesaikan berbagai akar persoalan sejarah politik, pelanggaran HAM dan konflik berkepanjangan yang menyertakan rakyat bangsa Papua dan Pemerintah Indonesia.
“Kebenaran sejarah adalah kebenaran peristiwa masa lalu yang tidak bisa ditutup-tutupi, dibungkam atau dimanipulasi dengan cara apa pun, karena kebenaran sejarah pasti akan terungkap.”
Posting Komentar