Headlines News :
Home » , , » Kuliah Tak Dijemput, Pulang Tunggu "Panggilan"

Kuliah Tak Dijemput, Pulang Tunggu "Panggilan"

Written By MELANESIA POST on Rabu, 13 Mei 2015 | Rabu, Mei 13, 2015

Kuliah Tak Dijemput, Pulang Tunggu "Panggilan"

Kuliah Tak Dijemput, Pulang Tunggu
Sejumlah wanita penghuni wisma menutupi wajahnya saat razia kependudukan dikawasan lokalisasi Dolly, Surabaya, Rabu (7/9). Razia dilakukan untuk mendata kembali jumlah PSK yang cenderung bertambah seusai lebaran. Dikawasan lokalisasi Dolly terdapat 57 wisma dan 1128 pekerja sek komersial. TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO, Jakarta- Sebut saja Santi, 19 tahun, tidak terlalu cantik. Tetapi dengan "hot pants" hitam dipadu blazer, penampilan dara berambut panjang itu amat mengundang perhatian. Kemolekan bodinya yang sebelas dua belas dengan peragawati menjadi santapan lezat setiap mata pengunjung sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Tempo menemuinya, dua pekan lalu.

Di kampusnya, sebuah universitas swasta di Jakarta Pusat, perempuan asal Medan tersebut dikenal ramah dan bergaul. Dan hampir semua tahu, ia adalah mahasiswi "panggilan", alias ayam kampus.

Santi satu "tongkrongan" dengan Maharani Suciono, mahasiswi 19 tahun yang turut diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama perantara suap impor daging, Ahmad Fathanah, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Keduanya sama-sama mengambil jurusan ilmu komunikasi. "Kita sering nongkrong di kafe depan kampus. Tapi karena dia (Maharani) "ke-gap", pin bbm gue dihapus," ujarnya dengan mimik sedih.

Ia meyakini ada "Maharani" lain di kampus, termasuk dirinya. Keberadaan para ayam ini, kata dia, tersamar, karena kebanyakan lihai menyamar. Beberapa ayam memang berpenampilan sederhana, sehingga menipu. Sama dengan mahasiswi lain, para ayam, menurutnya, juga rajin datang ke kampus, tetapi belum tentu masuk kelas. "Pulangnya tunggu jemputan atau panggilan deh," katanya.

Bagi Santi, mengumpulkan uang belasan juta rupiah dalam sepekan bukan perkara sulit. Komisi Rp 10 juta yang diterima Maharani dinilainya juga standar. Di sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Pusat, ujar dia, Rp 10 juta itu baru tips. Tapi memang, ditambahkannya, ayam yang dibayar sebesar itu memiliki spesifikasi fisik dengan standar tinggi. "Ya selevel model lah," ujar Santi yang mengaku bisa melayani "short time" dan "long time".

Kasus Maharani ini mengangkat kembali fenomena "ayam kampus". Dari penelusuran Tempo, keberadaannya bukan cuma di swasta saja, di kampus plat merah, bahkan di perguruan tinggi agama, juga marak. Kebanyakan ayam kampus atau disebut culai adalah peliharaan mucikari alias germo. Germo inilah yang menjembatani para ayam ke pelanggan.

Menurut salah satu mucikari, Doni, bukan nama tulen, sebutan ayam kampus sendiri mengartikan dua sisi identititas. Di samping belajar sebagai kegiatan utama, mahasiswi penyandang status ayam juga "mengerami telur" para pria hidung belang. "Itulah mengapa disebut ayam kampus," katanya.

Dalam pandangan Doni, status sebagai mahasiswi amat bisa meningkatkan harga pasaran si ayam. Sebab itu, banyak wanita, yang sebenarnya penjaja seks, memilih kuliah. "Tetapi ada yang benar mahasiswi juga," ujar Doni. Modus untuk meningkatkan harga jual, menurutnya, sama saja dengan menjadi model sampul di sebuah majalah lelaki dewasa.

Dari penelusuran Tempo, harga mahasiswi esek-esek ini dipatok mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 10 juta, bahkan lebih. Hitungannya juga berbeda-beda. Ada yang hitungannya sekali berhubungan intim saja, ada yang sehari, dan ada yang sampai dibawa ke luar kota atau luar negara. "Yang sampai sepekan di luar negeri tentu harganya bisa lima kali lipat," kata Doni.

Pendapatan rata-rata para ayam ini bisa mencapai Rp 60 juta per bulan. Beda Rp 2 juta dengan gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Angka itu berdasarkan keterangan dari Doni yang memelihara 10 ayam kampus. "Mereka sudah kaya-kaya loh," ujarnya.

Nora, mucikari lain, juga bukan nama sebenarnya, menuturkan, jaringan ayam kampus dikelola profesional. Beberapa mucikari menurutnya selektif mencarikan pelanggan untuk ayamnya. Ia mengatakan, ayam yang murah biasanya memiliki kelainan seksual atau penyakit kelamin. "Kalau culai gue itu ada kode etik dan sehat, alias bersih penyakit," ujarnya.

Pelanggan ayam peliharaan Doni dan Nora bukan orang sembarangan. Mereka selevel menteri, pejabat teras militer, bahkan anak pejabat. Menurut Nora, tidak semua pejabat meminta ayam kampus untuk berhubungan intim. Ada istilah namanya "Three D". Yaitu, si ayam cuma menemani pejabat untuk menghisap heroin, sabu dan inex, tanpa melakukan penetrasi.

Tempo menelusuri jejak-jejak para ayam kampus ini, mulai dari perekrutan, praktek transaksi, hingga sisi lain kehidupan para ayam.


HERU TRIYONO|PACIFICA
Share this post :

Posting Komentar