Posted: 05 Feb 2013 11:27 PM PST
Jayapura (5/2) – Ketua Sinode Gereja
Kingmi di tanah Papua, pendeta Benny Giay mengaku, hingga kini
kekerasan di Papua masih kuat. Tak hanya kekerasan yang terjadi,
ketakutan dan kematian juga masih membelunggu warga di wilayah tertimur
ini.
Benny menyampaikan hal itu disela-sela
ibadah peringatan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil (HUT-PI) di tanah
Papua yang diperingati Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura
di Sentani, Selasa (5/2). Menurutnya, hingga kini kegelapan yang
terjadi dimasa silam sejak para pekabar injil datang ke Papua masih ada.
Kekerasan, ketakutan, dan kematian masih terjadi sampai saat ini.
Permusuhan dan konflik terus meningkat.
Budaya curiga dan kekerasan masih menguasai kehidupan masyarakat. Budaya
dialog dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat kecil belum mendapat
ruang. Sebaliknya, kekerasan kultural dan politik yang masih
dipertontonkan. “Kekerasan antar umat beragama, antar kampung atau
antara rakyat dan negara masih kuat. Penembakan masih terjadi
sana-sini,” ujarnya. Benny mengatakan, saat ini Papua dikondisikan oleh
oknum-oknum tertentu.
Penembakan terhadap warga sipil masih
kuat. Warga takut dengan tragedi tersebut. Bagi Benny, persoalan itu
menjadi tanggung jawab umat Tuhan yang sudah menerima terang injil.
Lanjut dia, peringatatan injil perlu, mengingat jerih payah para utusan
pekabar injil, tantangan dan permusuhan dan hambatan kultural yang
mereka hadapi serta ketidak pastian dan penolakan dari masyarakat dan
dunia sekitarnya.
Hal serupa juga disampaikan pendeta
Henny O. Suwarsa dalam ibadah. Henny mengatakan peringatan pekabaran
injil di Papua yang sudah berusia 158 tahun perlu dimaknai secara baik
oleh setiap orang yang hidup di wilayah tertimur ini. “Pemberitaan injil
yang sebenarnya adalah apakah kita sudah mampu menolong orang yang
tidak mampu mengeyam pendidikan, kesehatan, mereka yang ekonomi lemah
dan mempunyai masalah,” kata Henny saat menyampaikan Firman Tuhan dialam
Roma 1 ayat 16.
Tak hanya itu, lanjut dia, injil adalah
senjata yang menyelamatkan manusia dari belenggu-belenggu dosa,
pelanggaran, ketakutan, dan kekerasan yang masih melilitnya. Menurut
Henny, hingga kini orang Papua masih dirundung ketakutan karena
tetanggannya tertembak dan dibunuh semena-mena. Hal ini membuat mereka
tak ada harapan. Penerima injil harus menjadi pekabar injil yang
memberikan harapan bagi orang membutuhkan, memberikan kebebasan bagi
orang yang membutuhkan pembebasan.
Pantauan tabloidjubi.com, puluhan
mahasiswa dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura
di Sentani, Kabupaten Jayapura memperingati HUT PI di gedung olahraga
sekolah itu. Peringatan diawali dengan ibadah bersama di gedung olahraga
sekolah tersebut, Selasa pagi. Ibadah dihadiri oleh puluhan mahasiswa,
dosen dan pejabat yang ada di kampus STT Walter Post. Masyarakat yang
tinggal disekitar sekolah itu juga hadir. Mereka (masyarakat) yang hadir
adalah warga jemaat Kingmi. Turut hadir, ketua Sinode Gereja Kingmi
Papua, Pendeta Benny Giay.
Usai ibadah, dilanjutkan dengan
penyerahan surat penunjukkan pendeta Marcus Iyai sebagai ketua STT
Walter Post Jayapura, penyerahan dua buah motor oleh badan pengurus
Sinode Kingmi kepada STT Walter Post Jayapura. Acara terakhir yakni
penyelenggaraan ujian tesis bagi empat mahasiswa. (Jubi/Musa)
Posted: 05 Feb 2013 11:13 PM PST
Socratez Sofyan Yoman (Photo pgbp) |
Jayapura, 5/2 (Jubi)—Ketua Persekutuan
Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Sokrates Sofyan Yoman menolak tegas
anggapan orang yang mengatakan pemberitaan Injil merubah Papua menjadi
terang dari gelap.
“Padahal, gelap identik dengan pencuri, pembunuh, pemerkosa kemudian
menjadi baik karena pekabaran Injil. Jadi saya tak setuju ketika orang
katakan Injil masuk ketika orang Papua ada dalam kegelapan,” tegas
Sokrates dalam pemaparan materi “Seminar Sehari 158 tahun Injil di
Papua, Sabtu (2/2) di Aula STT GKI I.S. Knije, Abepura, Kota Jayapura,
Papua.
Menurut Sokrates, orang Papua sudah mengenal berita Injil dalam
kebiasaan hidupnya jauh sebelum berita Injil tertulis tiba di Papua.
“Sebelum kabar Injil tiba di Papua lewat Ottow dan Geisler, orang Papua
mengenal dan menghidupi nilai-nilai Injili. Pemberitaan Injil tertulis
hanyalah penggenapan. Allah (Injil) itu sudah lebih dulu ada atau
sebelum orang barat yang bawa,” katanya.
Contoh penghidupan nilai Injil dalam budaya, kata Sokrates, yakni
konsep keselamatan dan kehidupan kekal, sudah ada jauh sebelum Injil
tertulis masuk ke Papua. “Biasanya, orang Dani mengatakan ‘Nabulal Habulal’,
yang artinya hidup kekal. Paham ini sudah ada dalam kehidupan orang
Papua, sebelum Injil secara tertulis masuk,” kata Sokrates.
Selain konsep keselamatan, kata Sokrates, sepuluh hukum Allah lewat
Musa di Gunung Sinai sudah menjadi bagian dari hidup orang Papua. “Orang
Papua tak pernah membunuh, mencuri dan merencanakan kejahatn
sebarangan. Orang Papua melakunya penuh dengan kesadaran dan alasan yang
mendasar. Sebelum Injil, orang Papua tak boleh bunuh sebarang atau
ganggu isteri orang sembarang, hal itu sudah ada jauh sebelum Ottow dan
Geisler masuk ke Papua,” terangnya.
Sehingga, menurut Sokrates, ‘wajah’ Kristus sudah ada dalam kehidupan
atau budaya orang Papua. Keberadaan ‘wajah’ Kristus dalam budaya Papua
itu suatu kepastian. “Siapapun tak boleh meragukanya. Kalau meragukan,
kisah penciptaan dari Allah yang baik perlu diragukan,” katanya.
Jadi menurut Socrates, apakah Allah menciptakan manusia lain terang
kemudian manusia Papua dalam kegegelapan. “Allah menciptakan semua
bangsa dalam situ`si yang sama, yakni terang. Di mana ada manusia di
situ sudah ada Allah. Jadi tidak benar kalau Injil di bawa ke Papua,”
katanya. Sumber: Jubi/Mawel
Posting Komentar