Headlines News :
Home » » Benny Giay: Kekerasan di Papua Masih Kuat

Benny Giay: Kekerasan di Papua Masih Kuat

Written By Unknown on Jumat, 08 November 2013 | Jumat, November 08, 2013

Posted: 05 Feb 2013 11:27 PM PST
Jayapura (5/2) – Ketua Sinode Gereja Kingmi di tanah Papua, pendeta Benny Giay mengaku, hingga kini kekerasan di Papua masih kuat. Tak hanya kekerasan yang terjadi, ketakutan dan kematian juga masih membelunggu warga di wilayah tertimur ini.
 
Benny menyampaikan hal itu disela-sela ibadah peringatan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil (HUT-PI) di tanah Papua yang diperingati Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura di Sentani, Selasa (5/2). Menurutnya, hingga kini kegelapan yang terjadi dimasa silam sejak para pekabar injil datang ke Papua masih ada. Kekerasan, ketakutan, dan kematian masih terjadi sampai saat ini.
Permusuhan dan konflik terus meningkat. Budaya curiga dan kekerasan masih menguasai kehidupan masyarakat. Budaya dialog dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat kecil belum mendapat ruang. Sebaliknya, kekerasan kultural dan politik yang masih dipertontonkan. “Kekerasan antar umat beragama, antar kampung atau antara rakyat dan negara masih kuat. Penembakan masih terjadi sana-sini,” ujarnya. Benny mengatakan, saat ini Papua dikondisikan oleh oknum-oknum tertentu.
Penembakan terhadap warga sipil masih kuat. Warga takut dengan tragedi tersebut. Bagi Benny, persoalan itu menjadi tanggung jawab umat Tuhan yang sudah menerima terang injil. Lanjut dia, peringatatan injil perlu, mengingat jerih payah para utusan pekabar injil, tantangan dan permusuhan dan hambatan kultural yang mereka hadapi serta ketidak pastian dan penolakan dari masyarakat dan dunia sekitarnya.
Hal serupa juga disampaikan pendeta Henny O. Suwarsa dalam ibadah. Henny mengatakan peringatan pekabaran injil di Papua yang sudah berusia 158 tahun perlu dimaknai secara baik oleh setiap orang yang hidup di wilayah tertimur ini. “Pemberitaan injil yang sebenarnya adalah apakah kita sudah mampu menolong orang yang tidak mampu mengeyam pendidikan, kesehatan, mereka yang ekonomi lemah dan mempunyai masalah,” kata Henny saat menyampaikan Firman Tuhan dialam Roma 1 ayat 16.
Tak hanya itu, lanjut dia, injil adalah senjata yang menyelamatkan manusia dari belenggu-belenggu dosa, pelanggaran, ketakutan, dan kekerasan yang masih melilitnya. Menurut Henny, hingga kini orang Papua masih dirundung ketakutan karena tetanggannya tertembak dan dibunuh semena-mena. Hal ini membuat mereka tak ada harapan. Penerima injil harus menjadi pekabar injil yang memberikan harapan bagi orang membutuhkan, memberikan kebebasan bagi orang yang membutuhkan pembebasan.
Pantauan tabloidjubi.com, puluhan mahasiswa dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura di Sentani, Kabupaten Jayapura memperingati HUT PI di gedung olahraga sekolah itu. Peringatan diawali dengan ibadah bersama di gedung olahraga sekolah tersebut, Selasa pagi. Ibadah dihadiri oleh puluhan mahasiswa, dosen dan pejabat yang ada di kampus STT Walter Post. Masyarakat yang tinggal disekitar sekolah itu juga hadir. Mereka (masyarakat) yang hadir adalah warga jemaat Kingmi. Turut hadir, ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pendeta Benny Giay.
Usai ibadah, dilanjutkan dengan penyerahan surat penunjukkan pendeta Marcus Iyai sebagai ketua STT Walter Post Jayapura, penyerahan dua buah motor oleh badan pengurus Sinode Kingmi kepada STT Walter Post Jayapura. Acara terakhir yakni penyelenggaraan ujian tesis bagi empat mahasiswa. (Jubi/Musa)
Posted: 05 Feb 2013 11:13 PM PST
Socratez Sofyan Yoman (Photo pgbp)
Jayapura, 5/2 (Jubi)—Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Sokrates Sofyan Yoman menolak tegas anggapan orang yang mengatakan pemberitaan Injil merubah Papua menjadi terang dari gelap.
“Padahal, gelap identik dengan pencuri, pembunuh, pemerkosa kemudian menjadi baik karena pekabaran Injil. Jadi saya tak setuju ketika orang katakan Injil masuk ketika orang Papua ada dalam kegelapan,” tegas Sokrates dalam pemaparan materi “Seminar Sehari 158 tahun Injil di Papua, Sabtu (2/2) di Aula STT GKI I.S. Knije, Abepura, Kota Jayapura, Papua.
Menurut Sokrates, orang Papua sudah mengenal berita Injil dalam kebiasaan hidupnya jauh sebelum berita Injil tertulis  tiba di Papua. “Sebelum kabar Injil tiba di Papua lewat Ottow dan Geisler, orang Papua mengenal dan menghidupi nilai-nilai Injili. Pemberitaan Injil tertulis hanyalah penggenapan. Allah (Injil) itu sudah lebih dulu ada atau sebelum orang barat yang bawa,” katanya.
Contoh penghidupan nilai Injil dalam budaya, kata Sokrates, yakni konsep keselamatan dan kehidupan kekal, sudah ada jauh sebelum Injil tertulis masuk ke Papua.  “Biasanya, orang Dani mengatakan ‘Nabulal Habulal’, yang artinya hidup kekal. Paham ini sudah ada dalam kehidupan orang Papua, sebelum Injil secara tertulis masuk,” kata Sokrates.
Selain konsep keselamatan, kata Sokrates, sepuluh hukum Allah lewat Musa di Gunung Sinai sudah menjadi bagian dari hidup orang Papua. “Orang Papua tak pernah membunuh, mencuri dan merencanakan kejahatn sebarangan. Orang Papua melakunya penuh dengan kesadaran dan alasan yang mendasar. Sebelum Injil, orang Papua tak boleh bunuh sebarang atau ganggu isteri orang sembarang, hal itu sudah ada jauh sebelum Ottow dan Geisler masuk ke Papua,” terangnya.
Sehingga, menurut Sokrates, ‘wajah’ Kristus sudah ada dalam kehidupan atau budaya orang Papua. Keberadaan ‘wajah’ Kristus dalam budaya Papua itu suatu kepastian. “Siapapun tak boleh meragukanya. Kalau meragukan, kisah penciptaan dari Allah yang baik perlu diragukan,” katanya.
Jadi menurut Socrates, apakah Allah menciptakan manusia lain terang kemudian manusia Papua dalam kegegelapan. “Allah menciptakan semua bangsa dalam situ`si yang sama, yakni terang. Di mana ada manusia di situ sudah ada Allah. Jadi tidak benar kalau Injil di bawa ke Papua,” katanya. Sumber: Jubi/Mawel

Share this post :

Posting Komentar